KOPRI

Annisa Syaqa-iq ar-Rijal (perempuan adalah belahan laki-laki) begitulah hadist Nabi tentang perempuan. Ini menandakan bahwa Islam menempatkan perempuan secara berdampingan dengan laki-laki dalam ekisistensi, dalam menunaikan peran kehidupannya dan dalam hak serta kewajiban. Perjuangan meningkatkan kualitas hidup perempuan adalah perjuangan memperbaiki kualitas hidup separuh masyarakat. Dengan kata lain, perbaikan hidup perempuan tidak otomatis terwujud melalui perjuangan hidup laki-laki. Ia memilki dunianya sendiri, yang juga harus diperjuangkan olehnya sendiri.

Gagasan apapun yang tidak didukung oleh sekelompok manusia yang siap untuk melaksanakan, memperjuangkan, dan menyebarkannya, pasti akan mati sejak usia dini, atau minimal akan sakit dalam waktu lama, tergeletak di atas dipannya hingga datang seseorang yang mengobatinya, menghindarkannya dari debu-debu masa, dan membebaskannya dari berbagai beban penyakit, lalu menyerahkan kepada sekelompok orang yang akan membentuk tunas gerakan yang akarnya adalah gagasan baru tersebut.

Gagasan yang tidak diwujudkan dalam sebuah pergerakan, tidak dibela, dan tidak diperjuangkan oleh pendukungnya pasti akan segera lenyap dan dilupakan betapapun hebat dan mengagumkan. Sejauh aktivitas, ketangguhan, dan kemampuan para pendukungnya dalam merekrut masa, akan menentukan keberhasilan gagasan tersebut. Selanjutnya akan terbentuklah suatu pergerakan yang terdiri dari sekelompok manusia yang dikendalikan oleh suatu kepemimpinan berikut struktur organisasinya. Setiap pergerakan apapun memilki gagasan tertentu yang hendak direalisasikan ditengah-tengah manusia, betapapun sederhananya, bahkan terkadang remeh, atau sulit untuk diwujudkan di alam nyata, namun ia tetap berupaya untuk membangun pendukung bagi dirinya.

Dari itu jelaslah urgensi struktur organisasi pergerakan. Istilah gerakan (movement) menurut kamus Webster berarti “organized action by people working towards a goal”. Kemudian Steaven Buchler menyatakan bahwa gerakan sosial itu sering digambarkan sebagi reaksi kolektif dari suatu kelompok masyarakat yang tersubordinasi (kolektive respons to groups experience of subordinat).

Cikal Bakal Lahirnya Kopri

Keputusan bersejarah pada pelaksanaan Kongres II PMII yang diselenggarakan di Murnajati Malang menyatakan organisasi berbasis mahasiswa ini keluar dari partai NU dan berbentuk independen. Deklarasi PMII dalam dokumen historisnya di kenal dengan “Deklarasi Murnajati”.

Independensi ini sifatnya pada ruang gerakan PMII secara keorganisasian karena sisi ideologi ke-Islam-an masih mengekor dengan organisasi induknya (NU). Independensi ini dipicu oleh kondisi sosial politik nasional yang secara otomatis melibatkan partai NU sebagai bagian di dalam pemerintahan dan legislatif membuat PMII baik secara langsung maupun tidak langsung terseret didalamnya. PMII seakan siap dijadikan apa saja sesuai dengan keputusan partai NU; sebagai anak, sebagai mitra maupun sebagai kepanjangan tangan penanaman ideologi parati NU di kalangan mahasiswa.

Tak hanya sifatnya yang strategis, sifat dependen PMII dengan partai NU juga membawa implikasi organisasi yang birokratis. Untuk bisa melakukan kegiatan internal maupun ekternal, PMII harus meminta persetujuan dan tanda tangan dari pimpinan partai NU. Realisasi demikian dirasakan oleh kader PMII sebagai suatu hambatan dan keterbatasan dalam bergerak. Meski harus diakui, selama PMII dependen dengan partai NU lah yang membuck up seluruh kegiatan organisasi.

Ketua umum PB PMII Zamroni pada saat berlangsungnya Kongres Murnajati tersebut di tengah-tengah isu keluarnya PMII dari partai NU mendengar adanya desas-desus aspirasi yang berkembang di kalangan kader puteri. Berbeda dengan kongres sebelumnya, di Murnajati ini kader puteri hadir lebih banyak tiga kali lipat dari sebelumnya. Latar belakang kader yang sebelumnya sudah mengenal PMII dari pengasuh pesantren.

Yang terekam dari kegelisahan kader puteri adalah peran dan posisi mereka di PMII. Bertambahnya jumlah kader perempuan di PMII tak bisa dilepaskan dari PMII.

Dalam usianya yang masih sangat muda, tiga tahun sejak PMII didirikan pada tahun 1960, perkembangan kader perempuan secara kuantitas di propinsi Jawa Timur melesat drastis. Saat berlangsung kongres mereka berkumpul dan mengadakan musyawarah kecil membahas persoalan yang dihadapi. Yang menjadi ganjalan kader perempuan PMII saat itu adalah sebagai berikut:

a. Keberadaan departemen keputerian yang mengakomodir kader perempuan tidak berjalan efektif karena lingkupnya yang sangat sempit. Departemen tak bisa membuat keputusan yang memudahkan kader perempuan menjalin hubungan dengan pihak luar PMII. Seperti misalnya ketua departemen tak bisa mengeluarkan surat dengan kop dan tanda tangan sendiri. Akibatnya kader permpuan PMII tertinggal dari gerbong gerakan perempuan saat itu karena tak bisa menjalin kerjasama. Kurang leluasanya ruang bergerak bagi kader perempuan semakin dalam dilema ketika PMII secara organisasi membatasi aktifis perempuan.

b. Meskipun dari sisi kuantitas kader perempuan jumlahanya lebih banyak dari laki-laki namun setiap kegiatan PMII yang melibatkan kaum perempuan hanya ditempatkan pada posisi yang tidak strategis. Tidak ada keleluasaan untuk menentukan diri, potensi dan bakat apa yang harus dikembangkan oleh masing-masing kader selama di PMII, semuanya seakan sudah ditentukan oleh PMII yang notabene diisi kader laki-laki.

c. Keterlibataban kader perempuan dalam aktifitas publik saat itu selalu berputar dalam lingkaran sebagai peserta dari kegitaan yang dilaksanakan oleh organisasi lain. Dilingkungan partai NU dan Muslimat, kader perempuan sering dipakai untuk penerima tamu, paduan suara, dan peserta karnaval acara hari-hari besar nasional dan keagamaan.

d. Pengaruh eksistensi organisasi di luar PMII yang memilki sayap gerakan perempuan turut andil dalam proses pendidikan kader bangsa. Organisasi sayap dengan leluasa melakukan kegiatan sosial-kemasyarakatan tanpa melanggar aturan bersama yang disepekati dalam organisasi induk. Organisasi sayap ini seperti misalnya Bayangkara (ikatan istri polisi), Persit, Kohati, Gerwani dll.

e. Organisasi sayap berbasis perempuan di era tahun 60-an telah memainkan ideologisasi kepada masyarakat basis yang menjadi konstituennya. Seperti misalnya, Gerwani hadir dengan bangunan ideologi komunis yang disampaikan dalam siu-isu emansipasi perempuan.

Alasan dibentuknya Korps PMII Putri (KOPRI) yang mengemuka saat itu berasal dari kebutuhan kader perempuan PMII untuk memisahkan diri dari induknya, yakni PMII. Mereka tak hanya merasa kurang leluasa dalam melakukan aktivitas gerak perempuan di dalam tubuh PMII, melainkan setting sosial politik yang kian tidak mendukung bagi eksistensi kader perempuan jika masih tetap mengurung diri dalam departemen.

KOPRI Sebagai Asset Pemberdayaan Perempuan

KOPRI harus memandang potensi kekuatan konstituens yang berlakang pendidikan memadai, merupakan potensi yang dapat dioptimalkan perannya dalam gerakan tranformatif. Watak pergerakan yang mengedepankan idealisme merupakan kekuatan potensi bagi KOPRI untuk menjalankan fungsi social control sebagai salah satu preassure group. Dengan kekuatan nilai Islam insklusif dalam bingkai paradigma Ahlu Sunnah wa al-Jamaah menjadi landasan moril dalam beraktivitas. Maka KOPRI sangat potensial untuk melakukan trasfomasi menjadi gerakan yang mendukung perjuangan menuju masyarakat yang berkesetaraan.

Gerakan-gerakan yang muncul kemudian memang memiliki kekuatan human resources yang kemudian menjadi kiblat bagi gerakan perempuan di Indonesia. Kondisi ini membuat KOPRI menjadi silau dan minder sehingga lebih memilih untuk mengembangkan gerakan perempuan melalui wadah-wadah baru tersebut. Akan tetapi KOPRI memiliki peluang yang bisa dimenej menjadi sebuah kekuatan yang sejajar bahkan di atas gerakan-gerakan perempuan yang baru ada pada saat wacana gender muncul.

Membangun Citra Diri Kader

Untuk membangun citra kader KOPRI, dalam buku Potret Gerakan Perempuan PMII disebutkan, yaitu antara lain:

1. Intelektual-Akademik
Pilihan untuk bergumul dalam dunia intelektual-akademik ini seharusnya memang merupakan sesuatu yang intern dalam diri kader. Hal ini mengingat kader KOPRI merupakan insan akademik dalam posisi sebagai mahasiswa aktif yang lekat dengan atribut intelektual.

2. Gerakan Perempuan dan Advokasi Sosial
Kultur gerakan merupakan bagian dari cara penyampaian aspirasi dan bentuk perjuangan kader. Maraknya gerakan perempuan Indonesia sejak terbukanya keran demokrasi telah manjadi bahasan sendiri dalam agenda global di Indonesia selain isu HAM dan demokratisasi. Gerakan perempuan ini menemukan momentumnya seiring dengan membesarnya laju persoalan pelik yang menimpa kaum perempuan.

Persoalan perempuan yang kemudian menjadi isu tersebut secara garis besar tergambar dari kasus-kasus yang menimpa Tenaga Kerja Wanita yang kian semerawut, kekerasan dalam rumah tangga, jual beli perempuan dan anak atau trafikking, masalah pelacuran yang tak mengundang solusi.

Dari masalah di atas tak ayal aktivis-aktivis perempuan yang getol menempatkan gerakan perempuan sebagai upaya untuk merubahnya. Karena yang menjadi target utama dalam dari gerakan perempuan adalah sentuhan persoalan perempuan kepada penentu kebijakan. Gerakan masa ini dalam sejarahnya dipandang efektif sebagai aplikasi dan fungsi agent of control terhadap kebijakan Negara. Di sinilah kader KOPRI juga turut melibatkan diri.

3. Politisi dan Aktivitas Politik
Menjadi politisi atau menggeluti aktivitas politik bagi kader KOPRI merupakan sesuatu yang prestis. Namun demikian keterlibatan mereka dalam wilayah pertarungan ini masih ditampakkan dengan sikap malu-malu baik ketika mereka masih menjadi mahasiswa atau ketika menyandang gelar alumni.

Berbeda dengan laki-laki, wilayah politik yang mengharuskan pemainnya terlibat dalam “pertarungan” membuat kader perempuan enggan berhadapan dengan resiko. Resiko yang dimaksud adalah spekulasi intrik dan konspirasi didalamnya.

4. Professional
Kader yang menentukan pilihan ini dalam hitungan jari. Pasalnya kader KOPRI yang memilki titik kecenderungan menekuni sebuah profesi secara professional (diangap kurang popuer) dibandingkan dengan garapan lainnya, terutama politik. Hal ini bisa dimaklumi mereka tidak dapat enjoy dan mengaktualisasikan gagasannya mengingat iklim yang tercipta tidak (belum) kondusif.

Penyebab lainnya adalah latar belakang akademis kader KOPRI yang masih berkisar pada Islamic Studies. Komunitas KOPRI tidak mampu mensuplai kebutuhan pasar berupa tenaga kerja yang professional yang mensyaratkan kemampuan teknokratis. Akibatnya posisi dalam birokrasi, sektor swasta tidak diduduki kader-kader KOPRI.

5. Kelompok Sosial Keagamaan
Inilah pilihan citra diri kader Kopri yang menempati posisi mayoritas. Posisi mereka pada kelompok sosial keagamaan, jika mau jujur sesungguhnya bukanlah pilihan prioritas.

Bermodal basic pendidikan Pesantren yang sarat nilai-nilai agama membuat kader KOPRI banyak mengambil pilihan dalam bidang sosial-keagamaan setelah lulus kuliah. Pilihan ini terlihat dari aktivitas mereka ketika masih terlibat dalam organisasi PMII. Di KOPRI mereka banyak menyeburkan diri dalam aktivitas sosial kemasyarakatan seperti bakti sosial, advokasi anak-anak jalanan, pendidikan alternatif kaum miskin kota dan pengajian keliling. Aktivitas inilah yang nantinya membentuk citra diri kader dalam keberpihakan pada aktifitas sosial-keagamaan.

Strategi Pemberdayaan Perempuan

1. Penguatan Institusi
Strategi pembubaran KOPRI merupakan sikap aksionisme (berbuat asal berbuat) sebagai dampak eforia kesetaraan gender. Karena kesadaran kesetaraan gender yang masih ada pada tingkat retorika tetapi tidak aplikatif pada kebijakan. Karena pembubaran organisasi pada dasarnya bentuk ketidakmampuan sebuah kelompok untuk tetap bertahan. Dari aspek historis menunjukkan tidak ada sesuatu yang biasa melahirkan organisasi yang disebut KOPRI.

Akan tetapi meminjam analisa Weber tentang masyarakat, KOPRI bisa menjadi sebuah masyarakat berdasarkan konvensi dari individu-indvidu yang bukan sebuah harga mati. KOPRI bisa menjadi sebuah wadah tempat bernegoisasi dari pada individu-individu yang berada didalamnya, sehingga kesempatan-kesempatan tersebut didasarkan pada practical needs dan strategic needs dari individu-individu yang ada didalamnya.

2. Mempertegas Posisi
Kebutuhan akan penguatan institusi perempuan merupakan jawaban yang amat penting untuk strategi perjuangan kaum perempuan. Karena sebenarnya pemberdayaan kaum perempuan mau tidak mau masih dilakuakn di dua aras. Aras pertama adalah pemberdayaan secara individual, pemberdayaan secara individual inilah yang mengandalkan seleksi alam. Sehingga hasil yang akan diraih oleh seorang perempuan tergantung seberapa besar bakat dan usahanya sebagai penentu nasib. Aras kedua, adalah pemberdayaan institusi yang kondusif untuk perjuangan perempuan dan institusi yang berspektif jender.

3. Penguatan Ideologi dan Paradigma Gerakan
Penguatan ideologi di sini adalah upaya yang dilakukan untuk menanamkan penggalian/pengkajian/eksplorasi pemikiran yang berkaitan dengan ideolgi yang kita anut yaitu Islam Ahlu Sunnah wa al-Jamaah. Bahwa metodologi berfikir Ahlu Sunnah wa al-Jamaah masih memungkinkan untuk dikembangkan terutama untuk pemikiran KOPRI tentang kesetaraan gender. Tidak hanya itu bahwa secara umum masih dibutuhkan eksplorasi lebih lanjut pengembangan pemikiran yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat secara luas, juga tentang hubungan Negara dan masyarakat.

Bahwa warga KOPRI harus memahami agenda besar KOPRI yang membentuk kader perempuan yang memahami Islam secara insklusif dan pluralis agar nantinya dapat membentuk masyarakat yang demokratis dan berkeadilan gender.

4. Reformasi Produk Hukum, Struktur dan Manajemen Organisasi
Salah satu kelemahan yang menyebabkan KOPRI kurang dapat mempertahankan institusinya secara menyeluruh adalah manajemen organisasi yang lemah. Kurang kontrol atau perhatian dari PB kepada cabang adalah salah satu sebab kader-kader menjadi kurang menaruh kepercayaan kepada KOPRI, namun ini semua tidak lepas dari kemauan dan responsifitas kader, karena pada dasarnya hubungan timbal balik top-down, dan bottom up antara PB dan cabang yang akan sangat menentukan kelangsungan organisasi.

Bahasa sederhana dari uraian tersebut adalah perlunya saling menjaga komunikasi sehingga terjalin komunikasi dua arah. Dengan demikian tidak terjadi miscommunication dan misunderstanding antara struktur yang ada di atas maupun di bawah. Bahwa kesadaran untuk mendapatkan akses informasi dan beraktivitas adalah kunci utama memanaj institusi KOPRI. Konsolidasi yang intensif akan dapat menumbuhkan kepercayaan kader sehingga akan memperkuat institusi secara menyeluruh. Untuk perlu diciptakan design organisasi yang humanis, fungsional dan rigid antara PB dengan cabang.

5. Penguatan Intelektual
Salah satu agenda besar KOPRI adalah menjadikan kader-kadernya berkualitas, dan ini terkait erat dengan intelektualitas. Penguatan intelektual kader adalah yang mutlak dilakukan dalam upaya memperkuat institusi. Penguatan intelektual sebagai upaya untuk mencerahkan kader agar mampu berfikir dan bertindak kritis terhadap ketimpangan-ketimpangan yang ada dalam lingkungan kita mulai dari masyarakat sampai Negara. Semakin banyak kader yang berkulitas akan semakin menampakkan bergainning KOPRI secara eksternal. Upaya yang dapat dilakukan dalam memperkuat intelektual kader adalah dengan memperkuat sistem kaderisasi, karena sistem kaderisasi yang baik diharapkan dapat menghasilkan kader-kader yang berkualitas dan mempunyai bergainning position baik secara internal maupun eksternal.

6. Penguatan Jaringan
Salah satu modal untuk terus meningkatkan bergainning position KOPRI secara institusi maupun individu adalah adanya kepercayaan dari luar terhadap KOPRI untuk melakukan kerjasama bersama apapun bentuk dan orientasinya.

Bahwa hal ini menjadi suatu yang urgen mengingat dengan adanya jaringan secara tidak langsung KOPRI telah melakukan opinion building ke luar. Pembangunan jaringan keluar tentu saja tidak begitu saja terjadi namun minimal ada upaya bagaimana kita diakui, diterima dan dipercaya untuk bisa memberikan ide-ide/pemikiran kita sehingga KOPRI tidak hanya besar di rumah namun kecil di luar.

Bahwa KOPRI dengan kekuatan massanya harus mampu menunjukan kelayakan untuk diperhitungkan di luar, terlebih lagi dalam upaya transformasi wacana dan pemberdayaan masyarakat. Akan menjadi kontra-produktif kemudian, bila ternyata KOPRI dengan modal massanya tidak mampu melakukan aksional apapun. Atau minimal ada sesuatu gerakan yang cukup menunjukan ciri khusus KOPRI dibandingkan dengan organisasi lainnya.

7. Penguatan Masyarakat Khususnya Perempuan
Sebagai organsiasi kemasyarakatan yang konsern pada pemberdayaan perempuan KOPRI berusaha untuk melakukan gerakan moral yang dapat memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Khususnya perempuan terutama dalam memahami hak-hak dan kewajiban dalam masyarakat negara. Oleh karenanya wajib bagi kader-kader untuk melakukan pemberdayaan kepada masyarakat bahwa pemberdayaan bisa menyentuh kepada lini kehidupan, maka profesionalitas kader yang dibarengi kepekaan/respon sosial yang tinggi akan menjadi modal bagi KOPRI untuk dapat memberdayakan masyarakat.

Keberpihakan KOPRI terhadap masyarakat lemah khususnya perempuan yang kurang mendapatkan keadilan akan hak-hak nya adalah menjadi salah satu agenda yang penting dikedepankan. Dasar dari hal ini adalah akses perempuan dalam ruang publik masih lemah dan perlu dilakukan terutama berkaitan dengan penguatan hak-hak politik. Bahwasannya perempuan mempunyai kepentingan lebih besar untuk akses terhadap segala informasi dan ikut serta dalam pengambilan kebijakan karena perempuan sering kali dekat dengan persoalan keluarga dan masalah anak-anak sehingga seharusnya lebih mewakili banyak kepentingan masyarakat. Oleh karena KOPRI dituntut untuk memilki kepekaan/respon sosial dengan ikut serta melakukan pemberdayaan perempuan dengan melakukan penguatan hak-hak perempuan khususnya hak politiknya. Capaian akhir dari usaha ini adalah demokratisasi masyarakat.

MENGUKIR SEJARAH BARU

“Perempuan selalu menjadi sahabat agama, tapi umumnya agama bukan sahabat bagi perempuan,” ucapan indologis Jerman, Morin Winterniz, sering dikutip ketika orang bicara tentang perempuan dalam lingkup agama, termasuk Islam. Revolusi Islam Iran dan proyek Islamisasi di Pakistan adalah ilustrasi yang sering digunakan untuk menunjukkan bagaimana perempuan menjadi objek utama pelaksanaan syari’at Islam dan sasaran kontrol untuk mewujudkan sistem sosial yang diidealkan. Pendapat yang sama terjadi ketika orang mengamati pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Berita-berita di media massa mengungkapkan bagaimana perempuan di Aceh digunduli dan dituduh sebagai ‘perempuan tidak baik’ bila tidak menggunakan jilbab.

Penggambaran diatas hanyalah satu sisi dari realitas dunia Islam. Di bagian lain, Islam ditampilkan dengan wajah lebih damai seperti yang ditemukan di Turki, Mesir dan beberapa negara di kawasan Asia. Perempuan-perempuan lebih bebas menjalankan aturan-aturan agama dan menentukan sikap mereka. Tapi semua itu bukan berarti tak ada masalah. Tumbuh kembangnya gerakan perempuan Islam di negara-negara tersebut mengindikasikan adanya sesuatu yang tak beres dalam dunia mereka. Pergerakan perempuan di dunia Islam membuktikan bahwa realitas ketidakadilan terhadap mereka bisa muncul dalam beragam penampilan agama.

Meski ide normatif Islam membawa nilai-nilai keadilan dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan, realitas sering menunjukan hal sebaliknya. Agama sering tampil dalam pandangan dunia laki-laki yang meletakkan perempuan sebagai objek. Pemaksaan syari’at Islam terhadap perempuan sering ditemukan pada masyarakat Islam yang ‘militan’. Mereka tidak diberi kesempatan untuk menyuarakan hak-haknya, bahkan yang menyangkut persoalan mereka sendiri.

Padahal dalam masa Nabi Muhammad SAW -yang merupakan masa ideal Islam- perempuan mempunyai ruang lebih dalam menunjukkan keterlibatan dalam dunia sosialnya. Mereka terlibat aktif dalam memformulasikan nilai-nilai agama. Tak ada kaidah-kaidah agama, terutama yang berhubungan dengan mereka yang ‘jadi’ tanpa dialog dengan mereka. Di masa tabi’in dan tabi-tabi’in, peneliti Islam kotemporer menemukan banyak fakta tercecer tentang beberapa ilmuwan perempuan yang menjadi guru bagi pendiri mazhab besar dalam Islam. Rumah mereka telah menjadi sumber bagi perkembangan tradisi keilmuan Islam saat itu. Sejarah juga tak bisa memungkiri kecemerlangan beberapa ratu dalam pemerintahan Islam abad pertengahan.

Berbagai prestasi diatas, sayangnya telah diabaikan dalam catatan sejarah. Sejarah androsentris juga melupakan arti penting gerakan perempuan dalam pembebasan masyarakat Islam dari pemerintahan kolonial seperti yang terjadi di Turki, India dan Indonesia. Selain melakukan perlawanan terhadap intervensi asing di tanah airnya, perempuan juga memberi kontribusi besar dalam menjaga keberlangsungan pelaksanaan syari’at Islam dalam masyarakatnya. Taufik Abdullah menceritakan masa kecilnya di Sumatera Barat, ketika ia menyaksikan perempuan-perempuan berjilbab berpatroli di kedai-kedai kopi dan pasar untuk mencari laki-laki muslim yang tidak melakukan shalat jum’at. Perempuan yang bergabung di bawah kelompok ‘lasykar jihad’ tersebut juga membuat gentar orang-orang yang melakukan praktek judi, minuman keras dan perbuatan-perbuatan yang melanggar syari’at Islam lainnya. Sekarang, hal yang sama terjadi di Aceh. Perempuan tidak hanya menjadi objek dan sasaran kontrol pelaksanaan syari’at Islam. Dengan gagah berani mereka melakukan hal yang sama terhadap laki-laki yang tidak konsisten melaksanakan konvensi-konvensi sosial yang disepakati bersama.

Berbagai fenomena di atas mendorong keharusan untuk melakukan analisis baru tentang peranan gerakan perempuan dalam dunia Islam. Untuk kasus Indonesia, munculnya berbagai bentuk dan model gerakan mereka tidak bisa dilepaskan dari pola pergerakan sebelumnya. Berbagai kelompok atau jaringan baru yang dibangun tak lepas dari kritik terhadap ketidak adilan sejarah maupun realitas baru di dunia internasional, seperti munculnya gerakan feminis di berbagai belahan dunia.

Menolak Hanya Sebagai Pelengkap

Jika ‘napak tilas’ sejarah dibuka kembali, tidak bisa tidak kita harus merujuk pada elemen pergerakan perempuan Islam yang ditemukan pada organisasi sayap perempuan yang bernaung di bawah oganisasi massa Islam terbesar seperti NU, Muhammadiyah dan lain-lain. Awalnya kemunculan organisasi sayap tersebut dimaksudkan untuk memaksimalkan potensi perempuan dalam urusan-urusan sosial kemasyarakatan. Kenyataannya, mereka diposisikan dalam berbagai badan otonom atau organisasi sayap yang tak punya pengaruh langsung dalam organisasi induknya. Program-program mereka memanifestasikan peran-peran tradisional yang ada di masyarakat seperti kegiatan pendidikan kerumahtanggaan, kesehatan ibu dan anak serta kegiatan di bidang sosial lainnya. Sedikit sekali peluang untuk memasuki peran yang lebih luas di dunia publik karena dianggap tidak sesuai dengan kodrat mereka.

‘Tempat perempuan adalah dalam domain perempuan’ begitu kata sebagian besar kyai di muktamar NU Lirboyo ketika muncul suara-suara untuk memasukan perempuan dalam struktur kepemimpinan di Pengurus Besar NU , yaitu Syuri’ah dan Tanfidziah. Keberadaan Muslimat dan Fatayat dianggap sudah mewakili keterlibatan perempuan NU dalam berorganisasi. Anggapan ini dipertanyakan oleh beberapa aktivis perempuan dan kelompok muda NU. Menurut mereka sudah saatnya perempuan diberi kesempatan menduduki pos-pos kepengurusan di badan penting NU. Ini diperlukan untuk memasukan perspektif perempuan dalam keputusan-keputusan penting NU, bukan hanya dalam persoalan yang berhubungan dengan perempuan tapi juga dalam persoalan sosial kemasyarakatan lainnya.

Di lingkungan NU sebenarnya dikenal beberapa orang kiyai yang dianggap mempunyai wawasan gender. Akan tetapi hal itu tidak menjamin kepentingan perempuan disuarakan dengan baik (Lihat: Laki-laki harus Melakukan ‘Class Suicide’ sebelum menjadi Feminis). Karenanya keinginan untuk mendudukan perempuan perempuan ke dalam struktur kepengurusan NU di Lirboyo belum terwujud. Menurut Lily Munir, seorang aktivis Muslimat NU, prosesnya panjang dan diperlukan strategi yang matang. Soalnya masih banyak pengambil keputusan di muktamar ditentukan oleh kyai dari daerah yang sensitivitas gendernya masih kurang. Bagi mereka munculnya beberapa orang perempuan memimpin sidang di muktamar sudah dianggap pencapaian yang luar biasa.

Kondisi yang sama juga terjadi di organisasi Muhammadiyah. Kelompok perempuan di tampung di organisasi sayap seperti Aisyiah dan Naisyatul Aisyiah (NA). Satu-satunya kemajuan yang perlu dicatat terjadi pada muktamar Muhammadiyah di Aceh tahun 1995 ketika Majelis Tarjih (sebuah lembaga kajian di Muhammadiyah yang memberi pertimbangan soal-soal keagamaan pada keputusan-keputusan organisasi) memberi rekomendasi pembentukan divisi khusus tentang perempuan dan keluarga. “Hadirnya perempuan dalam Majelis Tarjih akan mempermudah masuknya perspektif gender dalam keputusan-keputusan Muhammadiyah,” kata ketua umum IMM, Gunawan Hidayat yang banyak mengamati gerakan perempuan di kalangan Muhammadiyah. Divisi yang diketuai Sri Ruhaini Dzuhayatin tersebut juga diharapkan menjadi pra kondisi bagi perempuan untuk memasuki wilayah-wilayah yang masih tabu bagi mereka, seperti posisi-posisi strategis di struktur kepengurusan Muhammdiyah yang selama ini hanya diduduki laki-laki.

Pemberontakan terhadap struktur organisasi yang tak memberi ruang bagi perempuan disuarakan lebih keras dalam organisasi mahasiswa Islam seperti HMI, PMII dan IMM. Selama ini perempuan ditempatkan dalam organisasi sayap puteri yang hubungannya bersifat paternalistik dengan organisasi induknya. Ketua puteri diangkat dan bertanggung jawab pada Ketua Umum organisasi induk yang dipilih oleh kongres. Dalam kegiatan organisasi mereka diposisikan untuk membantu tugas putera sebagai panitia bagian konsumsi, pencari dana atau melakukan tugas-tugas kesekretariatan. Seandainya ada perempuan yang berusaha ‘loncat pagar’ dan membuktikan kemampuannya bersaing dengan laki-laki, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang excelent dan bukan tipikal perempuan umumnya. Ketika isu gender tumbuh dan mneyebar kalangan aktivis mahasiswa muslim ini, anggapan ini dipertanyakan.

Menurut Ketua Umum Korps HMI-Wati (KOHATI), AD Kusumaningtyas, isu Gender mulai dibicarakan teman-temannya sejak awal 90-an. Dimulai dari cabang Jogya yang terkenal dengan pemikiran radikalnya, isu gender mulai merambah ruang-ruang yang selama ini jarang dibicarakan seperti isu kepemimpinan perempuan, hak politik perempuan dlsbnya. Struktur organisasi yang tak memberi tempat bagi perempuan di posisi-posisi strategis juga mulai digugat. Mereka tak puas lagi hanya menjadi pelengkap penderita dalam organisasi. Sejak akhir tahun 90-an, KOHATI telah menjadi organisasi semi otonom di HMI. Ketua Umum KOHATI tak lagi dipilih dan bertanggung jawab terhadap ketua umum HMI. Hubungan dengan HMI hanya bersifat koordinatif. Pergulatan yang terjadi di Korps-PMII-Puteri (KOPRI) lebih keras lagi. Mereka tak puas hanya berkumpul dalam sebuah lembaga semi otonom karena dianggap mempersempit ruang gerak perempuan. Adanya KOPRI dianggap menjustifikasi ketidak mampuan perempuan dalam bersaing dengan laki-laki dalam perebutan posisi yang lebih strategis. Karenanya, KOPRI harus dibubarkan supaya memberi kesempatan bagi perempuan untuk menjadi ketua umum PMII. Menurut mantan ketua umum KOPRI, Luluk Nurhamidah, sebenarnya tak ada konstitusi yang melarang perempuan menduduki posisi tertinggi di organisasi. Tak ada peraturan organisasi yang menyatakan bahwa ketua umum harus dipegang laki-laki. Sayangnya, sosialisasi yang dilakukan tentang fakta ini tak mengurangi semangat sebagian besar anggota KOPRI untuk membubarkan diri. Menurut mereka satu-satunya jalan untuk bisa bertarung bebas dengan laki-laki adalah meleburkan perempuan dalam organisasi PMII.

Realitas pembubaran KOPRI ternyata sangat disayangkan beberapa mantan pengurus KOPRI karena tak diiringi strategi yang matang. Menurut mereka, seharusnya dilakukan negosiasi tentang kuota perempuan pada semua level kepengurusan, hal yang tak dilakukan oleh pelopor pembubaran KOPRI. Ke-nyataannya dalam struktur PB PMII hanya ada satu ketua dan sekretaris perempuan serta satu lembaga yang diketuai perempuan, yaitu lembaga kajian wanita. Hal yang justru menggambarkan kemunduran.

Pembubaran KOPRI juga disayangkan oleh seorang aktivis perempuan yang tak mau disebutkan namanya. Dihubungkan dengan rencana otonomi daerah, menghilangkan organisasi perempuan berarti mempersempit peluang penguatan isu-isu perempuan di tingkat yang lebih bawah. Jangan-jangan pembubaran KOPRI hanya sebuah siasat patriarkis, kata aktivis tadi menambahkan.

Terlalu dini untuk menyimpulkan pembubaran KOPRI sebagai sebuah kegagalan perjuangan perempuan. Bergabungnya KOPRI ke tubuh PMII bisa menjadi semacam ‘eksperimen’ tentang perempuan dalam organisasi Islam. Soalnya, ada anggapan se-bagian pengamat yang menyatakan bergabungnya perempuan dan laki-laki dalam sebuah wadah yang bernafaskan Islam sebagai sesuatu yang tidak kondusif . Anggapan mereka didasarkan pada pengamatan atas realitas kemunculan partai-partai yang berlandaskan Islam dalam era reformasi yang sedikit sekali mengakomodasi kelompok perempuan (Lihat: Isu Perempuan Hanya Sebatas Komoditas Politik). Menurut Hermalena, pengurus DPP PPP, partai-partai Islam masih bernuansa patriarkis sehingga peluang perempuan untuk memasuki ruang dan isu strategis masih mengalami kendala. Berkembangnya wacana keagamaan yang lebih menghargai hak-hak politik perempuan tak lebih dari strategi politik semata. Dan itu terjadi bukan hanya dalam partai-partai Islam saja. Hermalena lebih menekankan terbentuknya undang-undang yang mencantumkan kuota perempuan untuk setiap partai. Karenanya perlu dilakukan advokasi dan ‘tekanan’ pada parlemen untuk membentuk undang-undang semacam itu. Persoalannya, seberapa banyak orang (terutama perempuan) yang peduli dengan hal seperti ini. Sampai saat ini, masih ada anggapan di masyarakat bahwa politik adalah wilayah yang tabu bagi perempuan.

Kritik Terhadap Wacana Keagamaan Patriarkis

Merebaknya gerakan perempuan Islam di Indonesia akhir-akhir ini harus diakui banyak terinspirasi oleh feminis Islam dari Timur Tengah seperti Fatima Mernissi, Rifat Hassan dan lain-lain. Tuduhan sebagian kalangan bahwa feminisme banyak mengan-dung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam tidaklah mengkhawa-tirkan sebagian dari mereka. Kelom-pok ini malah berpendapat bahwa ide normatif Islam sesungguhnya mengu-sung nilai-nilai feminis yang telah dijungkir balikan oleh pelaku-pelaku sejarah yang punya watak misoginis. Karena itu tugas penting yang harus dilakukan adalah merekontruksi seluruh tradisi keagamaan patriarkis yang telah berurat berakar dalam tradisi Islam selama berabad-abad.

Menurut kelompok feminis Islam, rekontruksi ter-hadap teks-teks keagamaan yang selama ini tersimpan rapi dalam ‘otoritas’ keulamaan tradisional harus lebih diprioritaskan karena merupakan sumber ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam. Ajaran-ajaran tersebut telah menjadi sumber legitimasi peminggiran perempuan dalam wilayah sosial, politik, hukum baik dalam lingkup publik maupun domestik.

Adalah Wardah Hafidz, yang berperan penting mensosialisasikan urgensi melakukan kritik terhadap tradisi keagamaan yang telah mapan ke dalam lingkungan perempuan Islam di Indonesia. Tulisan-tulisannya banyak dimuat dalam Jurnal Ulumul Qur’an, media Islam pertama yang giat mempopulerkan gagasan-gagasan feminis Islam. Hadirnya buku-buku yang ditulis Rifaat Hassan, Aminah Wadud Hussein, Fatima Mernissi dan kawan-kawan pada awal tahun 90-an menambah semarak gerakan ini. Buku-buku tersebut di baca dan dikaji oleh berbagai kelompok diskusi, LSM dan perguruan tinggi yang menjamur di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Jogyakarta. Dari kelompok-kelompok tersebut kemudian bermunculan pemikir-pemikir feminis Islam yang karya-karyanya tak kalah tajam dibanding rekan mereka dari Timur Tengah. Di awal tahun 90-an, Lies Marcoes bekerja sama dengan INIS, menerbitkan buku berjudul Wanita Islam Dalam Kajian Tesktual dan Kontekstual yang diangkat dari seminar dengan tema yang sama pada tahun 1992. Buku tersebut dianggap sebagai salah satu karya intelektual yang menyorot persoalan-persoalan perempuan Islam dalam konteks ke Indonesia-an.

Yang menarik banyak karya rekontruksi tentang perempuan setelah itu dilahirkan oleh NU yang pola keberagamannya dianggap tradisional. Karya-karya yang dihasilkan pemikir NU seperti Masdar Farid Mas’udi, Zaitunnah, Nazaruddin Umar, KH. Hussein Muhammad tergolong sangat berani, suatu hal yang jarang ditemukan dalam karya-karya Islam umumnya. Baru-baru ini muncul lagi karya pemikir NU, Syafiq Hasyim, yang dengan lugas mempertanyakan kembali seluruh dalil-dalil keagamaan yang telah mapan selama ini . Dalam bukunya, Hal-hal Yang tak Terpikirkan dalam Fikih Perempuan, Syafiq menggambarkan bagaimana rekontruksi patriarkis yang sangat kuat terhadap perempuan ditemukan dalam kitab fikih al-munakahah, kitab tentang aturan berumah tangga yang banyak dipakai di kalangan penganut mazhab Syafe’i. Dalam konsep nikah, misalnya, perempuan hanya menjadi objek laki-laki. Semua itu terjadi karena dalam ijab kabul yang merupakan pintu masuk ke gerbang perkawinan, seolah-olah laki-laki menjadi pembeli dan perempuan sebagai komoditi yang dibeli. Menurut Syafiq, hal ini akan memberi peluang laki-laki untuk melakukan apa saja terhadap perempuan termasuk kekerasan.

Kajian gender juga telah memasuki lingkungan akademis. Di lingkungan perguruan tinggi Islam menjamur pusat-pusat studi wanita yang banyak melakukan sosialisasi gender di lingkungannya. Mereka berusaha memasukan kajian gender dalam kurikulum pendidikan Islam. Tidak hanya itu, PSW IAIN Syarif Hidayatullah misalnya, juga melakukan kajian kritis terhadap bias-bias gender yang terdapat dalam bidang studi yang dipelajari di IAIN seperti filsafat, tafsir, akidah, sejarah Islam dan lain-lain. Yang menarik, pemahaman-pemahaman patriarkis tak dominan dalam tradisi spritual Islam (tasawuf). Ibn Arabi, misalnya, menggambarkan citra Tuhan Yang Maha Pengasih sebagai sesuatu yang bersifat feminin. Jalan Tuhan adalah jalan feminin. Karenanya perempuan seperti Rabi’ah Al- ‘Adawiyyah diakui ketinggian ilmunya tanpa mempersoalkan jenis kelaminnya.

Sosialisasi wacana gender juga dilakulan LSM Islam seperti yang dilakukan divisi Fiqhun Nisa P3M (sekarang RAHIMA). Dengan fokus pada hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam, lembaga ini secara intensif sejak tahun 1994 aktif mengadakan pelatihan dan membentuk halaqah (kajian tematik) di pesantren-pesantren di Jawa dan Madura. Sasarannya adalah kelompok elit pesantren seperti kyai, nyai dan ustadz-ustadzah muda. Kegiatan ini diakui berdampak besar terhadap pola pemahaman keagamaan pesantren terutama yang menyangkut persoalan-persoalan perempuan. Hal yang sama juga dilakukan Fatayat NU dengan tekanan sasaran pada perempuan-perempuan muda pedesaan yang banyak mengalami ketidakadilan dan kekerasan karena pemahaman keagamaan yang bias gender. Fatayat sekarang juga telah mempunyai sekitar 26 Lembaga Konsultasi dan Pemberdayaan Perempuan (LKP2) di seluruh Indonesia yang menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Hati-hati dengan Perubahan

Ternyata tidak semua kelompok perempuan setuju dengan ide-ide emansipasi perempuan seperti yang banyak disuarakan kaum feminis Islam. Kelompok ini banyak ditemukan di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) pada perguruan tinggi umum di Indonesia seperti UI, ITB, UGM dan lain-lain. Mereka tidak setuju dengan kecenderungan melakukan perombakan terhadap streotipe perempuan yang telah mapan dalam tradisi Islam selama ini. Menurut mereka, laki-laki memang punya kelebihan dibanding perempuan. Melakukan penyamaan antar mereka berarti menyalahi hukum alam.

Kecurigaan terhadap aura pembaharuan yang ditularkan gerakan feminis Islam sangat kental dalam kelompok ini. Menurut mereka, feminis adalah Barat dan barat harus ditolak. Bahkan ada yang menuduh feminis adalah produk Yahudi yang dianggap punya niat buruk terhadap Islam. (Lihat : Menghindari Stigma Feminis). Stigma menjadi feminis sangat dikawatirkan perempuan-perempuan yang ada dalam kelompok ini sehingga mereka sangat berhati-hati melakukan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Hal-hal yang dipersoalkan kalangan feminis Islam seperti penafsiran surat An-Nisa tentang ayat arrijalu qawwamu ‘alannisa tidak muncul dalam kelompok ini.

“Kami sudah sepakat bahwa pemimpin itu adalah laki-laki” kata Nova dari LDK UNAS. Pemahaman ini menyebabkan mereka tak mempersoalkan sedikitnya jumlah perempuan yang masuk dalam struktur atau menduduki posisi-posisi strategis dalam organisasi. Kondisi ini tidak membuat mereka merasa mengalami subordinasi. Yang penting perempuan tetap memperoleh akses yang sama dengan laki-laki, kata Lisda, seorang aktivis KAMMI. Sayangnya, ia tidak menjelaskan apa yang dia maksudkan dengan akses yang sama tersebut.

Kelompok ini juga menolak kecenderungan untuk melakukan dekontruksi terhadap ahwal al-munakahah dalam tradisi Islam. Menurut mereka, fondasi terkuat masyarakat Islam adalah keluarga. Cita-cita ideal masyarakat Islam hanya bisa terwujud jika bangunan keluarga muslim kuat. Karenanya tugas perempuan dalam keluarga menjadi sangat penting. Mereka menyayangkan banyak perempuan yang melalaikan tugas-tugasnya sebagai pendidik dan penjaga moralitas keluarga. Fungsi perempuan sebagai istri dan ibu dalam keluarga tak kalah mulia dari pencapaian perempuan di sektor publik. Mereka tak menolak peran publik perempuan selama peran domestiknya tidak dilalaikan.

Keseimbangan itu harus dijaga, kata Dwi Septi-awati pemimpin redaksi majalah UMMI. Media perempuan Islam yang sekarang mempunyai oplah lebih dari 85.000 eksemplar ternyata dikelola ibu-ibu yang sukses membagi waktu di sela-sela tugasnya dalam rumah tangga. “UMMI concern dengan pember-dayaan perempuan selama tetap berada dalam koridor Islam”, Septi menambahkan. Isu kesetaraan gender bukan sekedar membela perempuan tapi berpihak pada kebenaran. UMMI mengangkat berbagai persoalan yang menimpa perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual dan kekerasan di dunia publik. Akan tetapi tidak selamanya perempuan menjadi korban kekerasan. Mereka juga bisa menjadi pelaku kekerasan. Karenanya dalam majalah UMMI ada KOLOM AYAH yang mengungkap keluh kesah laki-laki yang mengalami penderitaan akibat kesewenang-wenangan perempuan.

Penutup

Pemetaan awal ini menyiratkan adanya keragaman dalam model dan kecenderungan gerakan perempuan Islam di Indonesia. Keragaman tak harus dilihat sebagai sebuah perbedaan yang harus dipertentangkan. Nabi Saw sering mengatakan ikhtilafil ummmati rahmah. Di tengah meruaknya konflik dan kekerasan yang muncul dari berbagai kelompok Islam karena perbedaan ideologi, hal yang sama diharapkan tak terjadi pada kelompok perempuan Islam di Indonesia.

Orang boleh menilai sebagian gerakan perempuan sebagai sesuatu yang bernuansa progresif dan sebagian lain bernada kemunduran. Pilihan-pilihan apapun yang dilakukan elemen-elemen gerakan perempuan menjadi sah-sah saja selama pilihan itu memberi solusi pada persoalan-persoalan riill mereka. Karenanya pemikir Islam liberal seperti Laela Ahmad sangat menghargai Zaenab Al-Ghazali yang dikatagorikan ‘revivalis’ karena lebih berpijak pada persoalan-persoalan yang timbul pada masyarakatnya daripada aktivis perempuan yang sering mengadopsi gagasan-gagasan Barat tanpa pertimbangan praktis sama seka-li. Sikap Laela Ahmad ini perlu ditiru. Pilihan-pilihan ideologi apapun yang dipilih setiap orang tidak pernah final karena ideologi muncul dari kompilasi pikiran manusia dalam merespon situasi zamannya. Semua itu bisa berubah. Semua itu berproses. Karenanya dialog sangat penting dalam mencari alternatif-alternatif yang lebih efektif dalam mengatasi berbagai tantangan, termasuk tantangan pemberdayaan perempuan.

menu.jpg

Atas ↑